Oleh: Agus Khunaifi
Puisi Alif Lam Mim Cinta yang
Tidak Perlu Dimengerti karya K.H. Prof. Nadirsyah Hosen menghadirkan napas
segar di tengah hiruk pikuk dunia digital. Puisi ini tidak berbicara tentang
cinta dalam pengertian populer, romantis atau emosional melainkan mengajak kita
melihat cinta sebagai pengalaman spiritual yang sering kali tak bisa dijelaskan
dengan kata-kata.
Ia menggunakan simbol alif
lam mim, huruf muqaththa‘at dalam Al-Qur’an, yang sejak lama dipahami para
ulama sebagai tanda misteri Ilahi. Dengan itu, ia mengingatkan kita bahwa
cinta, seperti halnya wahyu, tidak selalu bisa dipahami lewat logika semata. Ia
perlu dihayati, dirasakan, dan dipeluk dengan hati yang jernih.
Sayangnya, karya semacam ini
sering tersisih di media sosial. Fenomena yang kita lihat justru sebaliknya:
tulisan reflektif, mendalam, dan penuh makna sering kalah pamor dibandingkan
konten yang sensasional, penuh emosi, atau sekadar memamerkan gaya hidup
materialistis. Alih-alih mendorong kita untuk membaca dengan tenang dan
berpikir kritis, media sosial lebih sering melatih kita untuk bereaksi
cepat dengan like, share atau komentar singkat tanpa ruang jeda untuk merenung.
Inilah yang bisa disebut krisis
literasi makna. Puisi, esai, atau tulisan reflektif yang seharusnya memberi
ruang kontemplasi, makin terpinggirkan. Nilai kesabaran dalam berpikir,
kebiasaan merenung, dan kepekaan spiritual sering tereduksi menjadi sekadar
kebutuhan akan pengakuan digital.
Dalam kondisi ini, seruan
Al-Qur’an menjadi semakin relevan. Iqra’ (bacalah), yatafakkarūn
(berpikirlah), dan yatadabbarūn (merenunglah) bukan hanya perintah
spiritual, tetapi juga ajakan agar kita tidak berhenti pada permukaan realitas.
Membaca berarti menggali hikmah, berpikir berarti mengolah informasi menjadi
kebijaksanaan, dan merenung berarti menyingkap makna yang tersembunyi di balik
kehidupan.
Melalui puisinya, Prof. Nadirsyah
seolah ingin menyalakan lentera kecil di tengah gelapnya belantara media
sosial. Ia mengingatkan kita bahwa cinta seperti kehidupan tak bisa diukur
dengan logika pasar atau angka. Cinta harus dijalani, dirasakan, dan
direnungkan. Dengan kembali pada ajaran Al-Qur’an, kita bisa menjaga agar hidup
tidak terjebak dalam kedangkalan materialisme dan pragmatisme, melainkan
menemukan makna yang sejati.
"Alif, Lam, Mim: Cinta yang
Tidak Perlu Dimengerti"
Alif, Lam, Mim bukan sekadar
huruf.
Ia adalah bisikan lembut dari
langit, mengajarkan kita untuk percaya meski tak selalu mengerti.
Seperti hidup, yang penuh rahasia
tetapi selalu memiliki makna. Seperti doa, yang tak selalu mendapat jawaban,
tetapi selalu didengar.
Seperti cinta, yang tak selalu
bisa dimiliki, tetapi tetap indah untuk dirasakan.
Maka, berjalanlah seperti Alif—berani memulai
meski tak tahu ke mana arah akan membawa.
Hadapilah hidup seperti Lam—sabar
menerima setiap liku dan perubahan.
Dan akhirnya, pulanglah seperti
Mim—dengan hati yang utuh, dengan jiwa yang tenang, kembali kepada-Nya.
Karena pada akhirnya, semua
pertanyaan akan terjawab di hadapan-Nya. Dan di situlah kita akan memahami
bahwa setiap langkah, setiap air mata, setiap pencarian—semuanya telah membawa
kita lebih dekat kepada-Nya.
Pada akhirnya, kita akan sampai.
Pada akhirnya, kita akan pulang. Dan di hadapan-Nya, kita akan menyadari bahwa
perjalanan ini selalu berada dalam genggaman kasih-Nya.
Sumber: https://jabar.nu.or.id/ngalogat/alif-lam-mim-rahasia-langit-yang-berbisik-MZ9MX