Suara Akar Rumput, Dinamika PBNU Tak Pudarkan Kharisma NU

0
Jajaran pengurus 'akar rumput' MWC NU Ngaliyan Kota Semarang. Foto ist.

Oleh: Agus Khunaifi, Ketua MWC NU Ngaliyan Semarang

nungaliyan.com
- Gelombang keprihatinan publik terhadap konflik yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhir-akhir ini mencuat sebagai isu nasional yang menyedot perhatian publik.

Fenomena ini seolah mengulang ketegangan serupa pada dekade 1980 an ketika terjadi perbedaan tajam antara Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Idham Chalid. Konflik di masa itu dipicu oleh perbedaan sikap terhadap kedekatan politik, yang kemudian dibalas dengan penegasan Kiai As’ad bahwa “NU bukan milik partai, NU milik umat.”

Resonansi sejarah ini kembali mengemuka hari ini ketika hubungan antara Rais Aam K.H. Mifahul Ahyar dan Ketua Umum K.H. Yahya Cholil Tsaquf diuji oleh persoalan internal yang tampak absurd namun berdampak besar.

Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah NU sedang berada dalam krisis internal yang berpotensi menggerus kharismanya sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia?

Sejumlah pengamat menilai bahwa gejolak tersebut tidak boleh dipandang sebagai insiden biasa. Profesor Nadirsyah Hosen, misalnya, melihat adanya persoalan tata kelola yang menghambat kemampuan kepengurusan menjalankan roda organisasi secara efektif. Dalam pandangannya, ini bukan sekadar ketegangan antar elite, melainkan gejala adanya cacat struktural yang perlu dibenahi secara serius.

Secara normatif, dinamika ini mengindikasikan meredupnya tradisi kearifan yang selama ini menjadi identitas kultural NU. Sepanjang sejarahnya, NU kokoh bertahan berkat nilai-nilai tabayyun, tasamuh, dan musyawarah yang selalu dijadikan pijakan dalam menyelesaikan konflik betapapun rumitnya.

Namun peristiwa yang terjadi belakangan justru menunjukkan arah yang berlawanan: tradisi itu tampak terkikis oleh kepentingan politik dan oleh penetrasi budaya baru yang tidak sepenuhnya sejalan dengan kultur Nusantara yang selama ini dirawat oleh NU.

Meski demikian, penting untuk diingat bahwa para pengurus tetaplah manusia biasa. Konflik, perselisihan kepentingan, dan perbedaan pandangan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dapat dihindari. Pengurus bukan malaikat; mereka memiliki keterbatasan sebagaimana manusia pada umumnya.

Karena itulah kesalahan seorang pengurus tidak boleh secara otomatis diterjemahkan sebagai rapuhnya NU sebagai organisasi. NU memiliki akar sosial yang jauh lebih dalam daripada sekadar figur yang sedang memegang jabatan. Masa jabatan pengurus pun bersifat terbatas, dan pergantian kepemimpinan merupakan keniscayaan dalam struktur organisasi modern.

NU lahir dari gagasan besar para ulama sebagai wadah perjuangan, pelayanan umat, dan pelestarian tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Spirit perjuangan ini tidak pernah bertumpu pada figur tertentu, melainkan pada nilai-nilai kolektif yang menjiwai organisasi.

Dengan demikian, dinamika hari ini seharusnya dipahami bukan sebagai tanda runtuhnya NU, tetapi sebagai bagian dari siklus pertumbuhan organisasi besar yang tidak luput dari tantangan internal.

Ada satu hal yang justru lebih patut diwaspadai yakni ancaman infiltrasi budaya. Dalam perspektif sosiologi budaya, salah satu ancaman paling subtil terhadap ketahanan suatu peradaban adalah infiltrasi budaya asing yang secara perlahan menggerus identitas kolektif.

P. Hamilton dalam teorinya mengenai cultural warfare menegaskan bahwa perang budaya bekerja secara halus, panjang, dan sering kali tak terasa. Salah satu strateginya adalah membelokkan sejarah suatu komunitas. Sejarah merupakan jangkar identitas; ketika ia dipelintir atau dihapus, maka sebuah komunitas dapat kehilangan orientasi moral dan kohesi sosialnya.

Dalam konteks NU, perubahan kultur organisasi, kaburnya sejarah, atau masuknya nilai-nilai yang tidak selaras dengan tradisi Nusantara merupakan ancaman laten yang jauh lebih berbahaya dibandingkan konflik elite yang tampak di permukaan. Konflik internal bisa sembuh; tetapi hilangnya identitas budaya dapat melemahkan suatu organisasi dalam jangka panjang.

Penutup


Tragedi yang terjadi di tubuh PBNU memang mengejutkan dan meninggalkan kekecewaan mendalam di kalangan warga NU maupun publik luas. Namun hal itu tidak boleh serta-merta diartikan sebagai pudarnya kharisma NU.

Organisasi ini memiliki akar yang kuat, pengalaman sejarah yang panjang, dan basis massa yang solid. NU telah berkali-kali melewati badai, dan selalu mampu bangkit kembali.

Yang terpenting ke depan adalah memastikan bahwa nilai-nilai dasar NU kearifan, musyawarah, kejujuran intelektual, serta etika kepemimpinan terus dirawat dan dijadikan fondasi.

Dengan begitu, konflik hari ini tidak menjadi preseden buruk, tetapi justru menjadi batu pijakan untuk memperkuat masa depan NU sebagai rumah besar umat.
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top